Rabu, 06 Desember 2017

Bandeng, Berkelana Rasaku



Bandeng, Berkelana Rasaku

Provinsi Banten yang beranjak remaja, sejak kelahirannya tahun 2000 lalu, terbilang punya banyak warisan kuliner yang terpatri dalam hati. Selain nilai historisnya, kuliner dengan bahan dasar ikan bandeng yang segmentasinya kalangan menengah ini, sudah mulai memasuki segala macam jenis segmen. Jadi kalau dulu ada istilah “hanya orang-orang menengah ke atas aja yang bisa cicipin lezatnya bandeng”, sekarang istilah itu sudah usang atau sudah tidak relevan lagi.
Saya berkelana menikmati me time di waktu week day. Jatuhlah pilihan untuk mencicipi pecak bandeng yang ada di kota kecil Provinsi Banten, yaitu kota yang tersohor di negeri Netherland sana dengan sebuatan kota Multatuli atau Edward Douwes Dekker. Sebut saja Kota Rangkasbitung. Nah, di by pass atau lebih dikenal Jalan Soekarno-Hatta, saya mengunjungi rumah makan yang bernama Rumah Makan Panyandungan Raya. Secara bahasa Sunda, panyandungan berarti tempat berpoligami. Diambil dari kata ‘nyandung’ yang berarti ‘poligami’. Memang betul di pinggiran Kota Rangkabitung ada suatu daerah yang bernama kampung Panyandungan. Konon, disana banyak laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu, saking banyaknya sampai-sampai kampung itu dikenal dengan nama panyandungan.
Asal-usul mengapa rumah makan tradisional ini memberi nama rumah makannya dengan nama RM Panyandungan, alasannya karena pemiliknya berdomisili di kampung Panyandungan. Cukup logis kan? Hehe. 

RM Panyandungan Raya (dok.pribadi Yollanda)




Kembali ke bandeng (dengan gaya ciri khas Mas Tukul Arwana, konon ia berkawan dengan bandeng, karena sama-sama menyandang nama-nama ikan). Salah satu menu andalan di RM Panyandungan ini adalah Pecak Bandeng. Banten banget, kan? Nah, pecak bandeng yang disajikan disini, dengan wadah cobek  yang terbuat dari tanah liat, jadi semakin menggelora saja nih rasa, terasa sekali ketradisionalannya. Ikan bandeng yang dipilih untuk jadi pecak bandeng harus ikan yang fresh, ciri-ciri fresh-nya yaitu dagingnya keras dan kenyal, serta tidak rapuh dan tidak bau. Pengolahan pertamanya dengan dibersihkan terlebih dahulu ikan bandeng itu, kemudian dibakar. Setelah matang, sisihkan dahulu. Kemudian kita olah sambalnya. Si pembuat pecak bandeng di RM Panyandungan ini bilang, sambal yang dibuat di sini terinspirasi dari RM Pecak Bandeng yang berlokasi di Sawah Luhur. Wow itu kan lokasinya natural banget. Sekelilingnya sawah-sawah terhampar luas membentang laksana permadani aladin, ditambah kolam-kolam tambak yang memelihara hewa-hewan berair payau. Menikmati pecak bandeng di Sawah Luhur bagaikan makan stoberi langsung petik dari kebunnya. Mirip dengan wisata-wisata di puncak gitu “Stroberi Petik Sendiri”. Kembali ke pecak bandeng panyandungan, yang menjadi sumber inspirasinya adalah olahan sambalnya, yang diolah mentah. Jadi cabai, tomat, garam, dan gula merah diulek kasar sehingga masih menampilkan bentuk-bentuk tomat yang tidak hancur. Sebelum ulekannya selesai, sertakan daun kemangi agar aromanya semakin sedap mantap. Hhmm menggoda selera. Sambal yang sudah selesai diolah lalu taburkan di atas ikan bandeng yang telah dibakar. Penampilan si bandeng semakin menawan, merah menyala, menggoda iman.

Pecak Bandeng (dok.pribadi Yollanda)

Si ibu pelayan yang membawakan pecak bandeng ke hadapan saya sungguh ramah. Senyumnya manis tulus tanpa dibuat-buat. Membuat rasa pecak bandeng ini semakin manis, eh tapi tetap pedas karena ada cabainya. Lidahku bergoyang-goyang berkelana rasa, di jiwa berteriak-teriak kepedasan. Meskipun tekstur daging ikan bandeng berduri halus, tidak mengurangi cita rasa menggelora, membawa saya berangan ke zaman kesultanan Banten. Saya seleksi daging-dagingnya agar hanya yang terpilih saja yang memasuki terowongan mulut saya. Sensasinya menggigit-gigit.

Sate Bandeng (dok.pribadi Yollanda)
Beda pecak bandeng, beda sate bandeng, persamaannya di bahan dasarnya, ikan bandeng. Sate bandeng lebih terasa meresap bumbunya sampai ke hati. Dagingnya dihaluskan dahulu untuk dileburkan dengan bumbu rempah kelas dunia. Tidak mengherankan negeri kita pernah dijajah negeri kincir angin selama 350 tahun untuk diambil rempah-rempahnya, karena memang rempah yang kita punya membuat iri negeri lain. Sekilas mengenang sejarah, kembali ke bandeng. Daging ikan bandeng dicampur dengan rempah, diaduk-aduk, sampai meresap. Untuk sate bandeng ini, si pembuat sate bandeng yang bernama Ibu Sani, sering menerima pesanan untuk pembuatan kuliner khas Banten, paling banyak yang pesan sate bandeng. Sate bandeng buatannya terasa beda. Pada umumnya sate bandeng memakai santan atau ampas kelapa agar lebih terasa gurih. Tetapi tidak bertahan lama alias harus disajikan dan habis di hari yang sama. Sate bandeng buatan Ibu Sani tidak mencampurkan santan, sehingga bisa awet. Itu sekilas perbedaannya. Meskipun Ibu Sani berasal dari Pontang Serang Banten, semangat juangnya memberikan pendidikan kepada anaknya tidak terkungkung hanya di Pontang saja. Ia bahkan mampu menguliahkan anak bungsunya hingga ke perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, anaknya mengenyam bangku pendidikan di jurusan Fisika di Universitas Indonesia.
Semuanya berangkat dari Pecak Bandeng dan Sate Bandeng.  Mereka  berkelana kemanapun mereka mau, ke rumah makan atau restoran yang dinginkan. Disajikan dengan penuh perjuangan insan yang mengolahnya. Disantap oleh orang yang mengerti cita rasa tinggi. Pecak Bandeng dan Sate Bandeng yang merupakan warisan kesultanan Banten di tempo doeloe, juga merupakan bukti sejarah makanan kelas atas.
Kamu sudah mencicipi keduanya? Yuk cobain kuliner khas tanah Banten :) 

2 komentar:

  1. Sate Bandeng itu menggoda selalu, biasanya kalau pingin aku beli yg di Benggala.

    BalasHapus

Blogger Pintar: Paham Nilai-Nilai Pancasila

Blogger Pintar: Paham Nilai-Nilai Pancasila Oleh: Yollanda Blogger pintar, paham nilai-nilai Pancasila. Itu jargon yang te...