Bandeng, Berkelana Rasaku
Provinsi
Banten yang beranjak remaja, sejak
kelahirannya tahun 2000 lalu, terbilang punya banyak warisan kuliner
yang terpatri dalam hati. Selain nilai historisnya, kuliner dengan bahan dasar
ikan bandeng yang segmentasinya kalangan menengah ini, sudah mulai memasuki
segala macam jenis segmen. Jadi kalau dulu ada istilah “hanya orang-orang
menengah ke atas aja yang bisa cicipin lezatnya bandeng”, sekarang istilah itu
sudah usang atau sudah tidak relevan lagi.
Saya berkelana
menikmati me time di waktu week day. Jatuhlah pilihan untuk
mencicipi pecak bandeng yang ada di kota kecil Provinsi Banten, yaitu kota yang
tersohor di negeri Netherland sana dengan sebuatan kota Multatuli atau Edward Douwes
Dekker. Sebut saja Kota Rangkasbitung. Nah, di by pass atau lebih dikenal Jalan Soekarno-Hatta, saya mengunjungi
rumah makan yang bernama Rumah Makan Panyandungan Raya. Secara bahasa Sunda,
panyandungan berarti tempat berpoligami. Diambil dari kata ‘nyandung’ yang
berarti ‘poligami’. Memang betul di pinggiran Kota Rangkabitung ada suatu
daerah yang bernama kampung Panyandungan. Konon, disana banyak laki-laki yang
memiliki istri lebih dari satu, saking banyaknya sampai-sampai kampung itu
dikenal dengan nama panyandungan.
Asal-usul
mengapa rumah makan tradisional ini memberi nama rumah makannya dengan nama RM
Panyandungan, alasannya karena pemiliknya berdomisili di kampung Panyandungan.
Cukup logis kan? Hehe.
RM Panyandungan Raya (dok.pribadi Yollanda) |
Kembali ke
bandeng (dengan gaya ciri khas Mas Tukul Arwana, konon ia berkawan dengan
bandeng, karena sama-sama menyandang nama-nama ikan). Salah satu menu andalan
di RM Panyandungan ini adalah Pecak Bandeng. Banten banget, kan? Nah, pecak
bandeng yang disajikan disini, dengan wadah cobek yang terbuat dari tanah liat, jadi semakin
menggelora saja nih rasa, terasa sekali ketradisionalannya. Ikan bandeng yang
dipilih untuk jadi pecak bandeng harus ikan yang fresh, ciri-ciri fresh-nya
yaitu dagingnya keras dan kenyal, serta tidak rapuh dan tidak bau. Pengolahan
pertamanya dengan dibersihkan terlebih dahulu ikan bandeng itu, kemudian
dibakar. Setelah matang, sisihkan dahulu. Kemudian kita olah sambalnya. Si
pembuat pecak bandeng di RM Panyandungan ini bilang, sambal yang dibuat di sini
terinspirasi dari RM Pecak Bandeng yang berlokasi di Sawah Luhur. Wow itu kan
lokasinya natural banget. Sekelilingnya sawah-sawah terhampar luas membentang
laksana permadani aladin, ditambah kolam-kolam tambak yang memelihara
hewa-hewan berair payau. Menikmati pecak bandeng di Sawah Luhur bagaikan makan
stoberi langsung petik dari kebunnya. Mirip dengan wisata-wisata di puncak gitu
“Stroberi Petik Sendiri”. Kembali ke pecak bandeng panyandungan, yang menjadi
sumber inspirasinya adalah olahan sambalnya, yang diolah mentah. Jadi cabai,
tomat, garam, dan gula merah diulek kasar sehingga masih menampilkan
bentuk-bentuk tomat yang tidak hancur. Sebelum ulekannya selesai, sertakan daun
kemangi agar aromanya semakin sedap mantap. Hhmm menggoda selera. Sambal yang
sudah selesai diolah lalu taburkan di atas ikan bandeng yang telah dibakar.
Penampilan si bandeng semakin menawan, merah menyala, menggoda iman.
Pecak Bandeng (dok.pribadi Yollanda) |
Si ibu pelayan
yang membawakan pecak bandeng ke hadapan saya sungguh ramah. Senyumnya manis
tulus tanpa dibuat-buat. Membuat rasa pecak bandeng ini semakin manis, eh tapi
tetap pedas karena ada cabainya. Lidahku bergoyang-goyang berkelana rasa, di
jiwa berteriak-teriak kepedasan. Meskipun tekstur daging ikan bandeng berduri
halus, tidak mengurangi cita rasa menggelora, membawa saya berangan ke zaman
kesultanan Banten. Saya seleksi daging-dagingnya agar hanya yang terpilih saja
yang memasuki terowongan mulut saya. Sensasinya menggigit-gigit.
Sate Bandeng (dok.pribadi Yollanda) |
Beda pecak
bandeng, beda sate bandeng, persamaannya di bahan dasarnya, ikan bandeng. Sate
bandeng lebih terasa meresap bumbunya sampai ke hati. Dagingnya dihaluskan
dahulu untuk dileburkan dengan bumbu rempah kelas dunia. Tidak mengherankan
negeri kita pernah dijajah negeri kincir angin selama 350 tahun untuk diambil
rempah-rempahnya, karena memang rempah yang kita punya membuat iri negeri lain.
Sekilas mengenang sejarah, kembali ke bandeng. Daging ikan bandeng dicampur
dengan rempah, diaduk-aduk, sampai meresap. Untuk sate bandeng ini, si pembuat
sate bandeng yang bernama Ibu Sani, sering menerima pesanan untuk pembuatan
kuliner khas Banten, paling banyak yang pesan sate bandeng. Sate bandeng
buatannya terasa beda. Pada umumnya sate bandeng memakai santan atau ampas
kelapa agar lebih terasa gurih. Tetapi tidak bertahan lama alias harus
disajikan dan habis di hari yang sama. Sate bandeng buatan Ibu Sani tidak
mencampurkan santan, sehingga bisa awet. Itu sekilas perbedaannya. Meskipun Ibu
Sani berasal dari Pontang Serang Banten, semangat juangnya memberikan
pendidikan kepada anaknya tidak terkungkung hanya di Pontang saja. Ia bahkan
mampu menguliahkan anak bungsunya hingga ke perguruan tinggi. Tidak
tanggung-tanggung, anaknya mengenyam bangku pendidikan di jurusan Fisika di Universitas
Indonesia.
Semuanya
berangkat dari Pecak Bandeng dan Sate Bandeng. Mereka berkelana kemanapun mereka mau, ke rumah makan atau restoran
yang dinginkan. Disajikan
dengan penuh perjuangan insan yang mengolahnya. Disantap oleh orang yang
mengerti cita rasa tinggi. Pecak
Bandeng dan Sate Bandeng yang merupakan warisan kesultanan Banten di tempo doeloe, juga merupakan bukti
sejarah makanan kelas atas.
Kamu sudah mencicipi keduanya? Yuk cobain kuliner khas tanah Banten :)
Sate Bandeng itu menggoda selalu, biasanya kalau pingin aku beli yg di Benggala.
BalasHapusUhuuuu bandeng 😍😍😍
BalasHapus